Selasa, 03 Mei 2022

Berjumpa Sang Mursyid (2)

Kisah Kedua.

Seorang kaya di Istanbul pernah berencana menguasai peredaran beras di pasaran selama setahun. Ketika para petani telah selesai panen, ia menyuruh para pembantunya untuk berjaga di semua gerbang kota. Di sana mereka akan membeli semua beras dari petani dan membawanya ke Gedung penyimpanan yang telah di sewa tuan mereka. Tidak ada sebutir beras pun dari para petani yang akan sampai ke pasar. Orang kaya itu berpikir bahwa ia akan meraih keuntungan luar biasa dari monopoli beras itu.

Setelah semua beras tersimpan, mandor mengajaknya berkeliling untuk memeriksa seluruh gudang. Di sana seluruh beras tersimpan, dipilah-pilah berdasarkan kualitasnya. Di sebuah sudut dalam gudang yang terakhir diperiksa, tersimpan beras kualitas terbaik. Beras ini berasal dari varietas, ditanam di tanah berkualitas paling baik, dan telah menerima cahaya matahari dan air yang memadai. Ketika melihat beras ini, yang butirannya berukuran dua kali beras biasa, pria itu memutuskan untuk membawa pulang beras itu secukupnya untuk dikonsumsi ketika makan malam nanti.

Ketika makan malam, kepadanya dihidangkan sepiring nasi nikmat dan kaya rasa dari beras itu, yang dimasak dengan tambahan mentega dan bumbu-bumbu. Ia suapkan sesendok besar ke mulutnya, tapi nasi itu malah tersangkut di tenggorokannya. Ia tidak bisa menelannya, tapi juga tidak bisa memuntahkannya.

Ia mencoba segala cara, namun nasi itu tetap tersangkut di sana. Ia pun memanggil dokter keluarganya. Dokter itu mencoba berbagai teknik sodokan dan dorongan ke dalam tenggorokannya, namun ia gagal memindahkan nasi itu dari tempatnya. Pada akhirnya, “Saya kira Anda harus menjalani prosedur tracheotomy. Itu operasi yang mudah. Kita hanya sedikit memotong leher Anda, membuat lubang tembus ke tenggorokan dan langsung mengambil nasinya.”

Ia bergidik mendengar gagasan bahwa ia harus membayar orang untuk memotong lehernya. Karena itu ia mendatangi dokter lainnya, seorang spesialis THT, untuk berkonsultasi. Sayangnya sang dokter spesialis ini akhirnya juga merekomendasikan prosedur serupa.

Akhirnya, ia teringat seorang syekh yang telah bertahun-tahun menjadi tempat meminta nasihat bagi seluruh keluarganya. Ia juga dikenal seorang penyembuh. Maka pergilah ia menemui syekh ini. Ia berkata kepadanya, “Ya aku tahu cara memperbaiki keadaanmu ini, tapi kau harus melaksanakan dengan tepa tapa yang akan aku katakana kepadamu. Ambillah penerbangan ke San Fransisco besok pagi.  Di sana naiklah taksi untuk mengantarkan ke hotel St. Fransisco. Masuklah ke kamar 301, dan segeralah menghadap ke arah kiri. Saat itu kau akan disembuhkan.

Karena yakin dengan reputasi sang syekh, apalagi siap melakukan apa pun selain menyuruh orang menggorok lehernya, orang ini pun membeli tiket dan terbang ke San Fransisco.

Ia tentu saja merasa sangat tidak nyaman di sepanjang perjalanan, karena ada segumpal nasi yang menyumpal di tenggorokannya. Untuk bernapas sangat sulit, dan ia hanya bisa menelan sedikit air.

Begitu tiba di San Fransisco ia langsung menuju hotel St Fransisco, dan naik ke kamar 301. Sejauh ini lancar. Setidaknya hotel dan kamar yang dikatakan Syekh memang ada.

Ia mengetuk pintu kamar, namun karena pintunya tidak tertutup dengan baik, pintunya sedikit terbuka karena ketukan tangannya. Pelan-pelan ia membuka pintu kamar, dan mengintip ke dalam dan masuk. Di sebelah kirinya ia mendapatkan seorang lelaki sedang tertidur di Kasur mendengkur pelan. Tiba-tiba saja, saudagar beras ini bersin. Karena bersinnya itu, gumpalan nasi di tenggorokannya langsung termuntahkan dan jatuh tepat ke mulut pria yang sedang tertidur itu. Karena kaget, orang itu mendadak terbangun dan tanpa sengaja langsung menelan segumpal besar nasi yang menyerbu mulutnya tadi.

Karena kaget, tanpa sadar ia berseru, yang ternyata dalam Bahasa Turki, “Ada apa? Anda siapa?” Saudagar beras yang terhenyak karena menemukan kawan sebangsa di San Fransisco akhirnya menceritakan seluruh kisahnya. Keduanya terkagum-kagum dengan apa yang telah terjadi. Pria dalam kamar hotel itu pun ternyata warga Istanbul, bahkan tinggal di daerah yang sama dengan rumah si saudagar.

Saat Kembali ke negaranya, si saudagar langsung menemui Syekh. Syekh menjelaskan bahwa beras yang akan ia makan bukanlah haknya. Beras itu hak pria Turki yang telah menelannya di San Fransisco. Karena bukan haknya, maka ia tidak akan bisa menelannya. Maka satu-satunyaa cara menyelesaikan masalahnya adalah mengantarkan beras itu kepada orang yang ditakdirkan Allah untuk menerimanya.

Syekh menambah—dengan penekanan—“Ingat. Apa yang merupakan hakmu pasti akan sampai kepadamu. Dan apa pun yang menjadi hak orang lain, pasti akan sampai juga kepada mereka.”

Saudagar itu pun pulang ke rumah. Ia terus memikirkan peristiwa yang baru saja terjadi pada dirinya, dan merenungkan kata-kata Syekh. Keesokan paginya, ia membuka seluruh gudang berasnya dan mendistribusikan semua beras kepada seluruh kaum miskin Istanbul.

Efendi menambahkan, “Itu benar. Apa pun yang telah ditakdirkan untukmu, baik karunia material maupun spiritual, pasti akan sampai kepadamu. Biarpun ia harus menempuh perjalanan jauh antara Istanbul ke San Fransisco atau bahkan harus berputar-putar terlebih dahulu, tetap saja ia pasti akan sampai juga kepadamu.”

---

Sore itu Robert pulang ke rumahnya, dan merenungkan kisah-kisah itu dan segala yang dikatakan Syekh. Robert menyadari betapa dirinya selalu memaksakan diri dan betapa seringnya takut pada kegagalan. Ia menyadari bahwa, ia mungkin tetap akan sama kerasnya dalam bekerja, tapi akan jauh lebih bahagia dan efisien kalau saja ia yakin bahwa segala yang telah diperuntukkan untuk dirinya pasti akan sampai juga kepada dirinya.

Kisah-kisah itu sangat memengaruhi diri Robert. Sejak saat itu, ia lebih tenang dan yakin kepada Tuhan. Setidaknya dirinya bisa mencicipi kebenaran bahwa Tuhan telah menyediakan kebutuhan kita jauh lebih baik dan jauh lebih berlimpah  daripada yang biasanya kita bayangkan.

Sumber Gambar: Pixabay

Sumber tulisan: Frager, Robert. 2016. Secawan Anggur Cinta. Zaman. Jakarta.

0 komentar: