Kisah Kedua.
Seorang kaya di Istanbul pernah
berencana menguasai peredaran beras di pasaran selama setahun. Ketika para
petani telah selesai panen, ia menyuruh para pembantunya untuk berjaga di semua
gerbang kota. Di sana mereka akan membeli semua beras dari petani dan
membawanya ke Gedung penyimpanan yang telah di sewa tuan mereka. Tidak ada
sebutir beras pun dari para petani yang akan sampai ke pasar. Orang kaya itu
berpikir bahwa ia akan meraih keuntungan luar biasa dari monopoli beras itu.
Setelah semua beras tersimpan,
mandor mengajaknya berkeliling untuk memeriksa seluruh gudang. Di sana seluruh
beras tersimpan, dipilah-pilah berdasarkan kualitasnya. Di sebuah sudut dalam gudang
yang terakhir diperiksa, tersimpan beras kualitas terbaik. Beras ini berasal
dari varietas, ditanam di tanah berkualitas paling baik, dan telah menerima
cahaya matahari dan air yang memadai. Ketika melihat beras ini, yang butirannya
berukuran dua kali beras biasa, pria itu memutuskan untuk membawa pulang beras
itu secukupnya untuk dikonsumsi ketika makan malam nanti.
Ketika makan malam, kepadanya
dihidangkan sepiring nasi nikmat dan kaya rasa dari beras itu, yang dimasak
dengan tambahan mentega dan bumbu-bumbu. Ia suapkan sesendok besar ke mulutnya,
tapi nasi itu malah tersangkut di tenggorokannya. Ia tidak bisa menelannya,
tapi juga tidak bisa memuntahkannya.
Ia mencoba segala cara, namun
nasi itu tetap tersangkut di sana. Ia pun memanggil dokter keluarganya. Dokter itu
mencoba berbagai teknik sodokan dan dorongan ke dalam tenggorokannya, namun ia
gagal memindahkan nasi itu dari tempatnya. Pada akhirnya, “Saya kira Anda harus
menjalani prosedur tracheotomy. Itu operasi yang mudah. Kita hanya sedikit
memotong leher Anda, membuat lubang tembus ke tenggorokan dan langsung
mengambil nasinya.”
Ia bergidik mendengar gagasan
bahwa ia harus membayar orang untuk memotong lehernya. Karena itu ia mendatangi
dokter lainnya, seorang spesialis THT, untuk berkonsultasi. Sayangnya sang dokter
spesialis ini akhirnya juga merekomendasikan prosedur serupa.
Akhirnya, ia teringat seorang
syekh yang telah bertahun-tahun menjadi tempat meminta nasihat bagi seluruh
keluarganya. Ia juga dikenal seorang penyembuh. Maka pergilah ia menemui syekh
ini. Ia berkata kepadanya, “Ya aku tahu cara memperbaiki keadaanmu ini, tapi
kau harus melaksanakan dengan tepa tapa yang akan aku katakana kepadamu. Ambillah
penerbangan ke San Fransisco besok pagi.
Di sana naiklah taksi untuk mengantarkan ke hotel St. Fransisco. Masuklah
ke kamar 301, dan segeralah menghadap ke arah kiri. Saat itu kau akan
disembuhkan.
Karena yakin dengan reputasi sang
syekh, apalagi siap melakukan apa pun selain menyuruh orang menggorok lehernya,
orang ini pun membeli tiket dan terbang ke San Fransisco.
Ia tentu saja merasa sangat tidak
nyaman di sepanjang perjalanan, karena ada segumpal nasi yang menyumpal di
tenggorokannya. Untuk bernapas sangat sulit, dan ia hanya bisa menelan sedikit
air.
Begitu tiba di San Fransisco ia
langsung menuju hotel St Fransisco, dan naik ke kamar 301. Sejauh ini lancar. Setidaknya
hotel dan kamar yang dikatakan Syekh memang ada.
Ia mengetuk pintu kamar, namun
karena pintunya tidak tertutup dengan baik, pintunya sedikit terbuka karena
ketukan tangannya. Pelan-pelan ia membuka pintu kamar, dan mengintip ke dalam
dan masuk. Di sebelah kirinya ia mendapatkan seorang lelaki sedang tertidur di Kasur
mendengkur pelan. Tiba-tiba saja, saudagar beras ini bersin. Karena bersinnya
itu, gumpalan nasi di tenggorokannya langsung termuntahkan dan jatuh tepat ke
mulut pria yang sedang tertidur itu. Karena kaget, orang itu mendadak terbangun
dan tanpa sengaja langsung menelan segumpal besar nasi yang menyerbu mulutnya
tadi.
Karena kaget, tanpa sadar ia
berseru, yang ternyata dalam Bahasa Turki, “Ada apa? Anda siapa?” Saudagar
beras yang terhenyak karena menemukan kawan sebangsa di San Fransisco akhirnya
menceritakan seluruh kisahnya. Keduanya terkagum-kagum dengan apa yang telah
terjadi. Pria dalam kamar hotel itu pun ternyata warga Istanbul, bahkan tinggal
di daerah yang sama dengan rumah si saudagar.
Saat Kembali ke negaranya, si saudagar
langsung menemui Syekh. Syekh menjelaskan bahwa beras yang akan ia makan
bukanlah haknya. Beras itu hak pria Turki yang telah menelannya di San
Fransisco. Karena bukan haknya, maka ia tidak akan bisa menelannya. Maka satu-satunyaa
cara menyelesaikan masalahnya adalah mengantarkan beras itu kepada orang yang
ditakdirkan Allah untuk menerimanya.
Syekh menambah—dengan penekanan—“Ingat. Apa yang merupakan hakmu pasti akan sampai kepadamu. Dan apa pun yang menjadi hak orang lain, pasti akan sampai juga kepada mereka.”
Saudagar itu pun pulang ke rumah.
Ia terus memikirkan peristiwa yang baru saja terjadi pada dirinya, dan
merenungkan kata-kata Syekh. Keesokan paginya, ia membuka seluruh gudang berasnya
dan mendistribusikan semua beras kepada seluruh kaum miskin Istanbul.
Efendi menambahkan, “Itu benar. Apa
pun yang telah ditakdirkan untukmu, baik karunia material maupun spiritual,
pasti akan sampai kepadamu. Biarpun ia harus menempuh perjalanan jauh antara Istanbul
ke San Fransisco atau bahkan harus berputar-putar terlebih dahulu, tetap saja
ia pasti akan sampai juga kepadamu.”
---
Sore itu Robert pulang ke rumahnya,
dan merenungkan kisah-kisah itu dan segala yang dikatakan Syekh. Robert
menyadari betapa dirinya selalu memaksakan diri dan betapa seringnya takut pada
kegagalan. Ia menyadari bahwa, ia mungkin tetap akan sama kerasnya dalam
bekerja, tapi akan jauh lebih bahagia dan efisien kalau saja ia yakin bahwa
segala yang telah diperuntukkan untuk dirinya pasti akan sampai juga kepada
dirinya.
Kisah-kisah itu sangat memengaruhi
diri Robert. Sejak saat itu, ia lebih tenang dan yakin kepada Tuhan. Setidaknya
dirinya bisa mencicipi kebenaran bahwa Tuhan telah menyediakan kebutuhan kita
jauh lebih baik dan jauh lebih berlimpah
daripada yang biasanya kita bayangkan.
Sumber Gambar: Pixabay
Sumber tulisan: Frager, Robert. 2016. Secawan Anggur Cinta. Zaman. Jakarta.
0 komentar:
Posting Komentar