Saya berniat untuk membagi sebuah kisah. Saya berharap ini bermanfaat untuk semua teman-teman pembaca. Bagi yang sudah pernah mendengar kisah ini, semoga ini menjadi pengingat kembali.
Di dalam pengantar buku yang telah
saya baca, diceritakan tentang kisah seorang penulis buku bernama Robert Frager,
Ph.D. Tentang pertemuannya seorang Mursyid dari Turki. Mursyid itu bernama Syekh
Muzaffer Ozak.
Singkat cerita, Robert Frager,
Ph.D (seorang lulusan dari Universitas Harvard jurusan Psikologi) membuat
sebuah kegiatan yang mengundang Syekh Muzaffer Ozak. Pada lembaga yang ia
dirikan (Institut Psikologi), ia mengundang syekh dan para muridnya sebagai tamu.
Robert menyambut sang syekh dan
para muridnya kemudian mengucapkan selamat datang atas nama seluruh keluarga
besar sekolahnya. Dari kehadirannya, Robert merasakan ada keterpaduan antara
kearifan dan kekuasaan yang sangat besar di satu sisi, dan ada cinta serta
kasih sayang yang teramat dalam di sisi lainnya.
Pada saat makan malam, Syekh mengundang Robert untuk duduk bersamanya. Setelah makan, ia menceritakan dua kisah hikmah. Ketika mendengar ia bercerita, Robert menyadari semua buku-buku yang ia baca tidak sedikit pun memiliki kekuatan yang sama sebagaimana cara pengajaran semacam ini. Membaca kumpulan kisah yang saling tidak berhubungan satu sama lain, yang sudah tercerabut dari konteksnya masing-masing sama sekali tidak bisa dibandingkan dengan mendengarkan seorang mursyid yang berbicara secara langsung. Kisah pertama berhasil membuka diri Robert, dan kisah kedua berhasil memukul jatuh rasa bangga diri.
Kisah Pertama.
Suatu ketika, seorang pria
meminjamkan sejumlah uang kepada sahabat lamanya. Berapa bulan kemudian, ia
membutuhkan uang itu. Ia pun pergi ke rumah sahabatnya di kota tetangga untuk
menagih uangnya yang ia pinjamkan itu. Istri sahabatnya mengatakan kepadanya
bahwa suaminya yang sedang mengunjungi seseorang di sisi lain kota itu. Istri sahabatnya
menunjukkan arah dan alamat yang harus dituju, lalu lelaki itu pun berangkat.
Dalam perjalanan, ia melewati
sebuah prosesi pemakaman. Karena tidak sedang terburu-buru, ia mengikuti
prosesi itu, dan ikut berdoa bagi almarhum.
Pekuburan kota itu sudah sangat
tua. Jika kuburan baru akan digali, sebagian kuburan lama harus digali ulang
untuk mengangkat dan memindahkan sisa tulang-belulangnya. Ketika pria itu
berdiri di samping lubang yang baru digali untuk jenazah almarhum, ia
memperhatikan sisa-sisa kerangka yang baru saja diangkat, tepat disampingnya. Di
antara dua gigi depan tengkoraknya terselip sebutir kacang pipih. Tanpa berpikir
ia ambil butiran kacang itu dan dijentikkannya ke mulut sendiri.
Tepat setelah itu, datanglah
seorang lelaki yang seluruh jenggotnya telah memutih namun tampak awet muda. Ia
bertanya pada si pria, “Kau tahu kenapa kau ada disini sekarang?”
“Oh, tentu saja. Aku datang ke
kota ini untuk mengunjungi sahabatku.”
“Bukan. Kau datang ke sini untuk
memakan sebutir kacang itu. Tahukah kau bahwa kacang itu adalah hakmu. Kacang itu
bukan hak orang itu, yang sudah menjadi tulang belulang sejak bertahun-tahun
lalu sehingga ia tidak akan bisa menelannya. Kacang itu adalah hakmu dan harus
sampai kepadamu.”
Efendi—sapaan untuk memuliakan seorang lelaki di Turki— menutup kisah pertamanya, “Itu berlaku untuk segala sesuatu. Allah sendirilah yang memenuhi segala hak dan kebutuhanmu.
Apapun yang diciptakan untuk menjadi hakmu, kau pasti akan menerimanya.”
Bersambung...
0 komentar:
Posting Komentar