HAKIKAT SEORANG
PEMBELAJAR
IMMawati Nurul
Fathanah
Manusia
dalam penciptaannya dibekali dengan sesuatu
yang tak diberikan kepada makhluk lain dan hanya diperuntukkan oleh manusia itu
sendiri yakni bekal sebuah akal. Adanya akal mampu menjadi indikator pembeda dari
manusia terhadap makhluk lainnya. Akal menurut pendapat seorang yang bernama Ar-Raghib Al-Ashfahany
dalam Al-Mufradat fii Gharib al-Qur’an (p. 346) mengungkapkan bahwa
akal merupakan daya atau kekuatan yang berfungsi untuk menerima dan mengikat
ilmu. Secara terminologi umum, akal dapat diartikan sebagai suatu peralatan
rohaniah manusia yang berfungsi untuk membedakan yang salah dan yang benar
serta menganalisis sesuatu yang kemampuannya sangat bergantung luas pengalaman
dan tingkat pendidikan, formal maupun informal.
Seorang
pembelajar yang budiman senantiasa menggunakan akalnya dengan cermat. Pembelajar
atau dengan istilah umum yaitu penuntut ilmu adalah orang-orang yang mencari
ilmu baik dalam lingkup formal maupun non formal untuk dimanfaatkan kepada dirinya secara
khusus dan kepada orang lain secara umum. Pembelajar budiman selalu mampu untuk
memahami dan menelaah setiap ilmu yang diperolehnya. Tidak secara mentah-mentah
menelan apa yang baru saja dicicipi oleh indranya sehingga pada akhirnya tidak
pula dengan gampang memuntahkan pengetahuan yang tidak tertelaah oleh akal
dengan baik.
Pun
hal penting yang harus selalu dimiliki oleh seorang pembelajar dan setiap
manusia di permukaan bumi adalah rasa tawadhu’
atau rendah hati ketika telah menerima ilmu pengetahuan yang baru yang
telah mengeyangkan pikirannya. Dalam pengkajian islam, bentuk realisasi
mengenai adanya akal dapat dibuktikan ketika seseorang mengetahui suatu tanda (ayat) maka ia selanjutnya harus
memikirkan hakikat yang terkandung di balik tanda tersebut, proses ini disebut
dengan tafakkur. Ketika seseorang telah mendapatkan
pelajaran dari aktivitas berpikir tersebut maka yang harus dilakukan ialah
memahaminya secara benar dan mendalam, dan proses memahami hasil (natijah) hal itu disebut dengan tafaqquh. Setelah seseorang
memahami suatu ilmu maka yang harus dilakukan selanjutnya ialah mengingat apa
yang telah ia pahami dari hakikat tersebut dan proses seperti ini disebut
dengan tadzakkur. Lalu ketika manusia
selalu mengingat ilmu yang telah ia pahami maka upaya terakhir yang seharusnya
dilakukan oleh orang yang berpikir ialah tadabbur atau
melihat kembali hakikat dari suatu peristiwa atau ilmu yang telah dipelajari
sebelumnya.
Konsep akal sangat sarat akan nilai-nilai ilmu
pengetahuan. Dengan akal, manusia diarahkan untuk memikirkan hal-hal yang bisa
dijangkau untuk menangkap esensi di balik suatu tanda. Menurut cara pandang
islam, ketika manusia mampu memahami hakikat suatu ilmu maka akan bertambah
pula keimanan dan ketakwaannya kepada Allah SWT. Lain hal dengan cara pandang Barat
yang memahami hakikat ilmu lebih menitikberatkan pada aspek rasional semata.
Dengan demikian, sebagai pembelajar muslim kita
harus selalu mengingat hakikat diri sebagai seorang pembelajar, selalu sadar bahwa
segala ilmu yang didapatkan hendaknya senantiasa lebih membuka pikiran bahwa
sesungguhnya akal diciptakan untuk mengetahui kelemahannya bukan dengan bertambahnya
ilmu menjadikan kita sebagai seorang menjadi orang yang lebih berbangga namun
yang harus dipahami adalah bahwa dari pengetahuan yang diperoleh menyadarkan
kita ternyata diri kita adalah makhluk yang tak banyak tahu, sehingga dengan
hal tersebut dapat menjadi stimulus untuk lebih memacu diri untuk menjadi lebih
tahu dan terus mencari ilmu.
#Keilmuan
#Salam_Akselerasi
# FKIP_Satu
#FKIP_Berdiaspora
#IMM_Bersinergi
#Keilmuan
#Salam_Akselerasi
# FKIP_Satu
#FKIP_Berdiaspora
#IMM_Bersinergi

0 komentar:
Posting Komentar