Ini adalah tulisan dari kak Azhar Nurun Ala.
Mengenalnya baru beberapa hari yang lalu, tetapi mengidolakannya sudah seperti perahu di laut yang mengalun jauh. Hihi, aku berlebihan(?) Tapi seperti itulah adanya. Aku menyukai tulisan-tulisannya. Dan teruntuk prosa yang dituliskannya ini, mungkin adalah yang paling kusukai dari sekian banyak prosa-prosanya yang telah kubaca. Seperti membawaku menyostalgiakan seseorang. 'Aku kepadanya, harapku semoga kau senantiasa baik-baik saja dan selalu dalam lindungan Allah.'
Tiada hal yang lebih manjur untuk mengobati heningnya
perpisahan selain merindu dan bersabar.
Tersebab kita bukan manusia mahahebat yang bisa hidup
sendiri. Tersebab perpisahan selalu menyisakan rasa yang asing dalam batin
kita: rasa yang menggugu dan tak biasa.
Meski keterpisahan tidak melulu soal air mata. Meski keterpisahan
tak melulu soal kenelangsaan. Meski kita sepenuhnya menyadari bahwa pada
hakikatnya keterpisahan hanyalah tipu daya waktu.
Aku akan mengenang saat-saat itu.
Waktu aku kerap mencari alasan-alasan kecil untuk sekadar
mencipta kesempatan berjumpa. Bukan untuk menatap. Apalagi saling menyapa lalu
tersipu. Karena bagiku, mengetahui bahwa kau baik-baik saja sudah lebih dari
cukup. Apalagi mengetahui bahwa kita dekat: rasanya seperti menyicip secuil
surga. Aku mulai berlebihan.
Aku akan mengenang saat-saat itu.
Ketika aksara mampu—meski malu-malu—berbicara lebih jujur
dari apa pun. Dengan canda-canda ringan yang kadang jadi absurd karena
kebablasan. Dengan bumbu metafora yang barangkali kita juga tak mengerti. Tapi
bukankah bagi kita pengertian itu sudah ada, bahkan sebelum terucap kata?
Kenanglah saat-saat itu.
Tidakkah kau merasa kita begitu dimanja takdir? Berjumpa.
Tertawa. Bersedih. Lalu, barangkali tanpa sadar kita telah saling merindu.
Dan kini…
Aku juga mesti menerima sebuah kenyataan yang tersaji di
hadapan: keterpisahan itu telah jadi niscaya.
Mempertanyakan ‘mengapa harus ada perjumpaan bila berujung
perpisahan’ adalah sebuah kepengecutan. Dan cinta, juga kebahagiaan yang
menyertainya, bukan milik para pengecut. Ia adalah hadiah untuk orang-orang
yang berani. Berani berjuang. Berani berdoa. Dan tentu berani menanti tanpa
harus merasa tersakiti. Karena senyawa cinta selalu butuh waktu untuk bisa
bereaksi.
Surga itu ada di bawah naungan pedang, kata seorang Sahabat.
Tiada kebahagiaan tanpa keberanian. Dan keberanian cuma dipunya sebagian orang.
Aku, dirimu, termasuk sebagian yang mana?
Demi detik-detik kehidupan yang habis untuk memikirkanmu.
Bila kita merasa takdir tak lagi memanjakan kita. Bila keterpisahan ini bukan
lagi tipu daya. Buatku, rasa itu akan tetap ada. Membersamai tiap-tiap asa yang
coba dicipta tanpa harus lupa: doa punya daya untuk menganulir takdir.
Dirimu. Semoga. Selalu. Detik ini dan selamanya. Jadi
bintang yang menggantung di langit rindu.
...
Cinta Adalah Perlawanan, hal 43
"Azhar Nurun Ala"

0 komentar:
Posting Komentar