Menyenangkan. Satu kata ini cukup mewakili keberadaanku selama aku di Bandung. Sejak pertama kali menginjakkan kaki di Bandung, Sabtu 20 Agustus 2022 lalu, hingga saat ini terhitung hari ke 100 aku berjejak di kota yang berjuluk kota kembang ini, Senin 19 Desember 2022, aku cukup takjub dengan banyak hal.
Kota ini memang sejuk. Amat sejuk. Aku teringat, satu hal pertama yang aku pikirkan sebelum aku ke Bandung waktu itu, aku harus beli kipas angin karena kebetulan kamar kosku di lantai dua dan ventilasinya tidak memadai untuk mendapatkan sirkulasi udara langsung dari luar. Aku cukup berpikir untuk membeli sebuah pendingin kamar alias kipas angin untuk menyejukkan tubuhku saat aku berdomisili di tempat ini. Ternyata ekspektasiku salah. Aku tak memerlukan kipas angin sama sekali karena setiap waktu udaranya amat sejuk (baca: dingin).
Tentang Culture Shock.
Awal-awal berdomisili di tempat yang baru, memang benar bahwa seseorang akan mengalami culture shock alias keterkejutan budaya. Sama seperti yang kualami. Saya mengalami culture shock diaspek tutur bahasanya dan kebiasaannya. Saya cukup gagap diawal untuk mencoba menyelam dalam tutur bahasa yang mereka gunakan. Dan karena pembawaan sikap yang ramah dan lembut, saya harus beradaptasi dengan semampu caraku agar budaya tutur bahasa timur yang agak cepat dan keras bisa terkontrol dalam berbahasa bersama orang-orang jawa barat (suku sunda).
Kebiasaan-kebiasaan yang baru kulihat seperti kebiasaan menggunakan kata punten (permisi) setiap melewati siapa saja di depan seseorang atau kelompok orang. Apalagi saat ketika berjalan kaki. Sebenarnya ini hampir sama di kalangan masyarakat Makassar. Kata punten semakna dengan kata tabe' yang sering digunakan masyarakat makassar untuk mengungkapkan makna sopan terhadap orang yang berada di sekitar kita saat hendak berjalan didepannya.Perbedaannya, di masyarakat sunda, ada kata yang menjadi balasan setiap berkata "punten" yakni kata "mangga" atau dalam bahasa Indonesia berarti silakan.
Ketika diperhatikan, ini cukup membuat hangat bagi hubungan orang per orang. Walau tak saling kenal. Dengan adanya bahasa-bahasa demikian membuat iklim bermasyarakat menjadi terasa harmonis.
Selain itu, aksen-aksen alias logat-logat yang agak mendayu, itu juga cukup membuatku untuk shock culture. Aku selalu merasa lebay jika harus mengikuti aksennya, tapi apa boleh buat diriku berada ditengah orang-orang yang demikian. Jadilah aku berlogat ala orang-orang bintang sinetron yang sedari dulu sangat tidak kusukai model bicaranya. Ternyata kita memang tak boleh terlalu tidak menyukai sesuatu. Beginilah jadinya haha.
Kebiasaan lain yang pertama kali kulihat adalah makan bakso bungkus yang tidak ditusuk. Paham maksudnya? Jadi kebiasaan di makassar saat makan makanan bakso yang dibungkus,seperti somay dan lain macamnya yang diberi bumbu kacang itu menggunakan tusuk untuk memasukkan ke mulut. Nah disini lain. Jadi pembungkusnya memang didesain agak panjang agar bisa diikat lalu dimakan dengan cara ujung kiri atau kanan bawah pembungkus yang runcing itu dibocor lalu bakso dimasukkan ke mulut. Sudah bisa membayangkan cara makannya? Ini cukup unik dalam penglihatanku.
Ku merasa aneh makan model kayak gini wkwk
Dan ternyata orang-orang disini merasa aneh saat aku menceritakan kebiasaan makan bakso bungkus di Makassar yang menggunakan tusuk bakso. Hahaha. Anehnya perbedaan, eh indahnya perbedaaan maksudnya😂🤣
Tentang Homesick
Jujur, aku tak pernah merasa terlalu "homesick". Jika aku merasa rindu, aku hanya menelfon keluarga dan aku kemudian menjadi merasa lega.Aku tak pernah merasakan kesepian yang sangat kesepian karena jauh dari keluarga lalu menangis sejadi-jadinya. Aku tak pernah seperti itu. Aku sering ditanya oleh orang-orang, kamu udah ngerasa homesick ga jauh dari keluarga?Dan kukatakan, tidak terlalu. Hehe.
Kenapa aku bisa seperti itu? Karena aku telah mempersiapkan diriku tentang hal tersebut. Sebelum aku jauh berjarak dengan keluarga, aku banyak menghabiskan waktu bersama mereka. Aku telah menabung ingatan baik dan obat terbaik untukku kelak jika aku merasakan rindu kepada mereka dengan menciptakan pengalaman yang berkesan bersama. Jadi sengaja,dua bulan sebelum aku ke Bandung aku tak menerima satu panggilan bertugas perkaderan di organisasi. Aku tak melakukan hal-hal lain kecuali menghabiskan waktu bersama keluarga. Aku benar-benar melakukan hal ini dan hasilnya aku bisa menjadikan diriku untuk bisa terkontrol saat aku jauh dari mereka. Terkontrol artinya tidak terlalu merasakan kesepian karena ketiadaan mereka.Jadi, perasaan bahagia bersama mereka sebelum aku ke Bandung menjadikanku lebih kuat menjalani hidupku di perantauan. Tangki cinta keluarga dalam diriku sudah kuisi full untuk jangka waktu setahun sebelum aku berangkat jauh dari mereka sehingga aku tak merasa terlalu homesick di perantauan.
"Manusia tidak akan pernah merasa sendiri selama dia ditemani oleh prinsip-prinsipnya" Herjunot Ali.
Aku cukup takjub dengan kata-kata ini dan kupikir aku merasakannya. Sekalipun aku jauh, karena aku sudah menanamkan prinsip dalam diri, aku merasa legowo karena aku punya pegangan. Aku jauh dari keluarga hanya sementara. Dan harus kembali membawa kebahagiaan untuk mereka.
Disini, aku hanya fokus untuk membenahi kekurangan-kekuranganku yang lain, yang kudapatkan dari pandangan teman-temanku dan hasil evaluasiku sendiri selama beberapa waktu di Bandung.
Kunjungan Wisata Area Bandung
Saya menjejaki Bandung belum jauh-jauh amat. Hanya baru di sekitaran Bandung saja. Tempat-tempat wisata seperti yang ada di lembang (farm house,great asia-africa,grafika cikole) alun-alun, gedung sate, dan beberapa masjid. Sebenarnya, terlepas dari tempat mana saja yang telah kujejaki, yang menjadi esensi bagi diriku sendiri menjadi warga domisili Bandung adalah komunikasi alias pertukaran informasi yang kulakukan kepada orang-orang disini. Disisi itu yang cukup berarti kualami. Jadi bukan semata tempatnya.
Saya bukan tipe manusia fanatik untuk harus berkunjung kemana dan berfoto ria agar dikatakan bahwa saya telah berjejak. Agar dikatakan bahwa saya adalah traveler dan beragam pengakuan-pengakuan orang lain yang sejatinya tak kubutuhkan.Prinsipku berbeda.Saya mungkin berencana menjejaki beberapa tempat tapi bukan dengan esensi agar saya dianggap telah berkunjung ke tempat tersebut, tapi untuk mendapatkan nilai dari apa yang kujejaki. Saya senang belajar di tempat-tempat yang baru. Dan memahami tentang seluk beluk tempat tersebut.
Mempelajari hal-hal berbeda yang kutemui dan mencoba mengeksplorasi lebih dalam. Dititik ini yang paling kusukai. Lalu mencoba mengelaborasi dengan apa yang telah kudapatkan dari lingkungan tempat tinggalku sebelumnya, Sulsel. Ada beberapa hal yang mirip, ada beberapa hal yang kontras.
Bagaimana Aku Survive ?
Tujuanku ke Bandung bukan hanya sebatas tujuan akademik namun juga mencari banyak informasi yang kubutuhkan untuk perjalanan hidup ke depan nanti. Aku cukup antusias menjalani kehidupanku saat-saat ini dan sangat bersyukur kepada ilahi telah menempatkan ragaku dititik sekarang. Tidak ada penyesalan apapun dan aku masih terus optimis untuk meraih segala mimpi yang ingin kucapai.
Menjadi perantau atau yang sering kuistilahkan "pengelana" adalah titik hidup yang cukup berarti kurasa. Belajar bertahan hidup tanpa keluarga kandung tapi disisi lain aku menemukan keluarga baru yang lain.
Aku dituntut melatih diri menjadi lebih mandiri dan membuat diri agar bisa survive dengan segala kendala yang dialami. Satu kunci penting bagiku, tidak berlepas diri dari rahmat Allah. Satu-satunya peganganku yang paling kuat hanya kepada-Nya. Aku tak bisa memungkiri berulang kali aku jatuh dan merasa perih sendiri tapi satu tempat berpulang yang paling menenangkan, hanya kepada-Nya. Sumber finansialku hanya dari orangtua dan aku tak ingin banyak membebaninya, tapi satu yang kupercaya Tuhan akan selalu membantuku bagaimanapun sulitnya segala sesuatu kurasakan. Aku tak pernah banyak meminta kepada orangtua. Berapa yang dikirimkan olehnya, seperti itu yang diterima. Aku berusaha berhemat dan menyesuaikan dengan kebutuhan.
Biaya kehidupan di Bandung cukup "lumayan" sehingga aku harus pintar-pintar mentaktisinya. Uang bulanan yang dikirimkan oleh Bapak harus bisa kukelola dengan benar. Kebiasaan yang dilatih oleh ibu sejak kecil sangat berguna bagiku. Aku terbiasa menerima uang sedikit dan aku terlatih mengelolanya dengan sesuai kebutuhanku. Jadi aku tak terbiasa untuk berbelanja barang mewah karena uangku sedikit, aku tak terbiasa untuk hura-hura yang tak jelas, nongki yang unfaedah, karena uangku terbatas. Pakaianku hanya itu-itu saja yang kubawa dari Makassar. Hanya beberapa lembar. Aku takkan membeli sesuatu jika aku masih memiliki barang cukup seperti pakaian. Dan aku tak peduli apapun yang orang lain katakan jikalau ada yang menyentil "bajunya kok itu mulu neng?" Hahaha. Aku masih bisa bersikap biasa saja. Dan alhamdulillah ga ada yang pernah ngomong gitu depanku, ga tau kalo di belakang, wkwk.
Menjalin relasi bagiku sesuatu yang cukup penting. Bergabung dengan beberapa komunitas dan bertemu dengan bermacam karakter manusia. Bertambah teman bertambah rezeki juga. Aku cukup banyak merasa tertolong karena teman-teman yang membantu.Dari silaturahim yang terjalin. Sikap yang paling harus kujaga di perantauan adalah cara berbicara. Orang sering salah memahami hanya karena cara berbicara yang berbeda. Padahal maksudnya adalah baik. Karena perbedaan budaya, maka harus pintar-pintar beradaptasi.
Hal lain yang menjadi catatan.
100 hari di Bandung memberi catatan sendiri bagiku. Aku juga banyak belajar tentang komunikasi dengan orang-orang yang jauh dariku. Merawat relasi bersama mereka yang berjarak. Semua ini melatih diriku untuk menyeimbangkan waktu untuk diri sendiri, dengan orang-orang di sekitar sini, dan orang-orang yang jauh dariku sekarang ini.
Perubahan-perubahan dalam diriku perlahan terasa setelah aku bertemu beberapa orang, dan mendapatkan insigh-nya. Bukan hanya tentang beberapa orang, tapi juga dalam waktu-waktu yang kuhabiskan hanya untukku seorang (kontemplasi), aku perlahan mendapatkan sesuatu yang baru.
Tentang bagaimana membahagiakan keluarga, merawat relasi sesama manusia (sahabat, kakak, adik, masyarakat luas), sikap terbaik mencintai seseorang, tentang mimpi di masa depan, pengendalian diri dan tentang pencarian makna hidup hakiki. Aku cukup banyak belajar hal itu. Cerita-cerita selama 100 hari ini akan sangat terkenang dan akan berlanjut catatannya di 100 hari kedua di waktu mendatang.
Mari nantikan cerita selanjutnya.